geoxile

Sabtu, 15 Juni 2013

Runtuh dan Bangkrutnya Budaya Minangkabau

Etnis Minangkabau sudah lama mengalami kebangkrutan budaya, tidak saja pasca-Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (1958-1961), tetapi juga semasa Orde Baru. Pengaruh eksternal politik nasional yang merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Minangkabau merupakan faktor luar yang sangat berpengaruh dan mempercepat terjadinya kebangkrutan budaya Minangkabau.
Demikian dikemukakan budayawan Edy Utama dalam seminar internasional Kebudayaan Minangkabau, Selasa (23/11) di Padang. "Kebudayaan Minangkabau yang berproses secara empiris dengan acuan nilai-nilai ideal dalam ’warisan kata-kata’ membutuhkan respons konkret dalam perilaku keseharian. Budaya harus ditafsirkan sebagai kata kerja, bukan kata benda," kata Edy Utama, yang mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Edy menjelaskan, sebetulnya orang Minang sudah lama mengenal konsep revitalisasi, tercermin dari ungkapan adat yang usang-usang diperbarui sehingga bisa kembali berarti dalam masyarakat. Masalahnya sekarang, apakah yang perlu direvitalisasi dari kebudayaan Minangkabau.
Menurut Edy, yang paling penting adalah merevitalisasi paradigma berpikir yang menganggap Minangkabau adalah suatu bentuk kebudayaan yang sudah selesai. "Hilangkan paradigma yang ingin mempertahankan status quo. Dinamika kebudayaan Minangkabau tidak mungkin tumbuh melalui pendekatan sentralistik karena pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau mengakui dan mengakomodasi individu sebagai penyumbang perkembangan kebudayaan," ujarnya.
Sejarawan Mestika Zed mengatakan, selama puluhan tahun komunitas Minangkabau - di kampung dan rantau - telah lama menyesatkan diri sendiri sebagai komunitas bangsa. Orang Minang cenderung suka membangga-banggakan masa lalu. Bahkan, orang Minang masih suka menghitung-hitung tokoh Minang yang jadi menteri. "Orang Minang tidak berusaha membangun kemuliaan baru," ujarnya.
Panelis lain, Sutan Sularto yang Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, berbicara tentang keragaman kedaerahan, globalisasi, dan tantangan media massa. Menurut dia, pandangan kebudayaan suku sebagai subkultur kebudayaan Indonesia dapat dibenarkan sejauh terbatas pada sistem nilai dan kaidah yang berlaku dalam bidang kenegaraan. Sebaliknya, pandangan pluralitas mengenai ratusan suku yang masing-masing merupakan kesatuan sosial sendiri haruslah dijiwai oleh semua warga dalam setiap suku.
"Dalam suasana diversitas, setiap kelompok diberi kebebasan mengikuti kebudayaannya sendiri. Persoalannya, sejauh mana kelompok-kelompok pluralitas itu saling berhubungan? Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman, karena konsep multikulturalisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokratisasi dan agenda nondiskriminatif," katanya.
Runtuhnya budaya Minangkabau, menurut antropolog dari Universitas Gadjah Mada Sjafri Sairin pada hari pertama (22/11), tak lepas dari terjebaknya masyarakat dalam situasi yang sering disebut instant culture, menjadikan sesuatu gagasan begitu saja menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat tanpa proses.
Dampak negatifnya sudah terasa seperti hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2003, di mana siswa di Sumatera Barat hanya berada di atas hasil siswa Papua. Tercatat pula sejumlah balita yang malnutrisi di daerah ini karena ibu-ibu enggan menyusui.
Belum lagi 43 dari 45 orang anggota DPRD Sumatera Barat yang dipidana karena terkait kasus korupsi. "Jelas sekali peristiwa ini berkaitan dengan proses globalisasi yang tengah melanda jantung kehidupan masyarakat, yang menjadi pemicu bagi menguatnya instant culture," ujarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar