geoxile

Sabtu, 15 Juni 2013

Di Tinjau Kasih Tak Sampai di Maninjau Makalah Jadi (legenda Danau Maninjau)

This image has been resized. Click this bar to view the full image. The original image is sized 800x600.
[Image: maninjau-sumbar.jpg]

Danau Maninjau merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di Sumatra Barat. Danau ini tepatnya di Kabupaten Agam dengan jarak 105 km dari kota Padang. Keindahan danau Maninjau yang dapat kita nikamati saat ini terjadi karena dendam si Malintang terhadap si Sani. Kemudian, kisah ini disebut dengan legenda ”Bujang sambilan”.

Legenda Bujang Sambilan ini pada awalnya berkembang dalam bentuk sastra lisan. Berkembang sebelum masuknya agama Islam, disaat masyarakat pemiliknya masih percaya kepada dewa yang berada di Gunung Tinjau.

Legenda Bujang Sambilan bercerita tentang Dt. Limbatang, anaknya si Giran dan sembilan kemenakannya. Yaitu: Malintang, Palimo Bayua, Pandan Mudo, Pandeka Rayo, Barasok, Balok, Galapuang, Gasang, dan Puti Ra Sani, yang bertema Adat Alam Minangkabau.

Mamak tidak lagi menjadi sosok yang disegani dan didengar kata-katanya sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah karena kemenakan sudah basutan di mato, barajo di hati (bersutan di mata, beraja ke hati) dan hasut-fitnah. Legenda ini terjadi dan masih hidup di daerah Agam Baruah, 36 km sebelah barat kota Bukittinggi.

Alkisah, bujang Sambilan—sembilan bersaudara—merupakan anak yatim piatu. Si Sani (si Bungsu) karena masih kecil ketika ditinggal orang tuanya, maka ia dibesarkan oleh mamaknya. Ketika dewasa ia menjalin cinta dengan anak mamaknya yang bernama Giran.

Hubungan percintaan ini mendapat penolakan dari saudara lak-laki si Sani terutama dari Malintang. Usut punya usut penolakan itu terjadi karena Malintang memiliki dendam kepada Giran. Dendam itu terjadi karena si Giran Pernah mengalahkannya di arena silat sampai kakinya patah.

Semenjak mengetahui hubungan si Giran dan adiknya si Sani si Malintang berusaha menyatukan suara dengan saudaranya yang lain. Pada akhirnya semua saudara si Sani tidak mengizinkannya berhubungan dengan si Giran. Mereka berusaha memisahkannya.

Pada suatu hari ketika si Giran bertemu dengan si Sani di Pancuran, paha si Sani digigit lintah. Si Giran berusaha menolongnya. Pada saat itulah saudara-saudara si Sani melihat. Mereka memfitnah si Giran dan si Sani telah berbuat kotor. Buktinya banyak darah yang mengalir dari paha si Sani.

Agar dewa gunung Tinjau yang amat ditakuti oleh penduduk tidak marah, maka si Sani harus dilemparkan ke kawahnya. Itu kesepakatan Malintang dan saudara-saudaranya. Dt. Limbatang, sebagai mamak sudah berusaha mencegahnya namun ditentang mereka. Si Sani tetap dibawanya ke gunung Tinjau. Si Sani tidak menolak. Bukan karena ia mengakui salah, namun itu sebagai bentuk kepatuhannya kepada saudara-saudaranya.

Ketika akan terjun ke kawah gunung, si Giran datang. Ia ingin meloncat berdua dengan kekasihnya. Sebelum meloncat si Sani berkata kepada saudara-saudaranya, bersumpah demi alam, demi penghuni genuang Tinjau. ”Setelah kami meloncat nanti, kalau tidak terjadi apa-apa berarti kami memang salah, tapi kalau gunung ini berubah menjadi lautan diiringi oleh petir dan badai itu tandanya kami tidak salah.”

Seiring dengan terjunnya si Sani dan si Giran ke kawah gunung Tinjau datanglah guruh, petir dan badai besar. danau-dari-gunung-tinjauGunung Tinjau berubah menjadi danau. Sembilan laki-laki bersaudara tadi dihukum oleh dewa penghuni gunung Tinjau, berubah menjadi ikan, mereka kemudian disebut dengan Bujang Sambilan. Penghuni danau Maninjau. Dua tanjung yang menjulur ke danau, merupakan lambang kegagalan cinta antara si Sani dan si Giran.

Selanjutnya, nama-nama dari tokoh ini diabadikan dengan nama-nama daerah di Tanjung Raya. Puti Ri Sani menjadi Tanjuang Sani, Dt. Limbatang menjadi Sungai Batang—tempat kelahiran Buya Hamka). Palimo Bayua menjadi Bayua. Malintang menjadi Koto Malintang, di daerah Anam Koto. Pandan, si Barasok, Galapuang adalah nama-nama kampung di pantai barat danau Maninjau. Balok dan Gasang menjadi nama jorong di kenagarian Maninjau pasar. Sedangkan nama Tanjuang Raya berasal dari nama pandeka rayo, guru silatnya si Malintang.

Sampai sekarang masyarakat Agam Baruah/Tanjuang Raya percaya bahwa danau maninjau bapanghuni (memiliki penghuni gaib), yaitu sembilan arwah Bujang Sambilan yang menjelma berupa ikan.

Setiap tahunnya Bujang Sambilan akan mengambil korban, berupa manusia. Pada hari itu akan datang badai besar. Tujuannya adalah membersihkan danau dari kotoran-kotoran dan dosa masyarakatnya.

Selain itu, pada waktu tertentu belerang naik meracun air maka ikan-ikan menjadi mabuk dan mati, orang novi-yuliamenyebutnya dengan tubo. Konon, itulah Bujang Sambilan menjelajahi danau. Panjangnya kira-kira lima depa, punggunya biru dan dadanya merah. Radai tagak kuniang bak ameh, sunguik tapasang bamego-mego, cahayonyo bendang dalam aia. Artinya, barang siapa yang mengganggu maka ia akan mati tagak (mati berdiri) atau akan raib dibawa urang aluih (orang halus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar