Daripada membuat ringkasan dan review mengenai lima buah buku karya
Rusli Amran, alangkah baiknya jika memperkenalkan sedikit perdebatan
mengenai sejarah Minangkabau diantara para penulis sejarah Minangkabau
atau yang sering disebut Ahli sejarah amatiran di Indonesia. Sebagian
besar orang Indonesia mengetahui karya-karya Taufik Abdullah, Deliar
Noer, Alfian, Harsja Bachtiar dan penulis-penulis Indonesia lain yang
terdidik dan terpelajar mengenai sejarah Indonesia. Akan tetapi
disamping kelompok tersebut terdapat kelompok informal lain yang menulis
buku berdasarkan fakta-fakta dan spekulasi yang hanya beredar di
Indonesia dan bertujuan hanya untuk dibaca dikalangan rakyat Indonesia
saja. Para ahli sejarah amatiran ini menarik untuk dibahas.
Pada pertengahan tahun 1961, semangat kebangsaan dan kepahlawanan orang-orang Minangkabau telah hancur. Pemberontakan yang dilancarkan oleh pendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan telah tiga tahun berjuang menentang pemerintahan pusat yang makin lama makin condong dan menunjukan keberpihakan pada budaya Jawa yang otoriter dan komunis, akhirnya dapat dikalahkan.
Banyak orang-orang Minangkabau pergi meninggalkan Sumatera Barat dan tidak pernah kembali lagi. Saat ini mulai dikenal dengan istilah rantau cino, migrasi permanen orang Cina, ketika orang-orang Minangkabau mulai memberikan nama Jawa pada keturunan mereka. Orang-orang Minangkabau mulai mengeluh bahwa di tanah kelahiran mereka di Sumatera Barat, "Para Pemenang" semuanya telah pergi dan yang tertinggal hanya kerbau. Restauran padang dan para imigran dari Sumatera Barat mendadak membludak. Mereka pada umumnya berusaha menekan identitas etnik mereka dan menyesuaikan diri mereka agar terbiasa hidup jauh dari tempat asal mereka di Minangkabau dan hidup dengan kenangan buruk.
Pada tahun 1963, datang lagi sebuah pukulan terhadap orang-orang Minangkabau yang telah kehabisan nafas. Dalam sebuah buku yang ajaib dan sangat aneh yaitu “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Hambali di Tanah Batak (1816-1833)”. Seorang penulis Mandailing bernama Mangaradja Onggang Parlindungan mentertawakan dan mengejek:
“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679)."
Setelah menunggu kejatuhan Soekarno dan kehancuran Partai Komunis Indonesia maka saudara-saudara dari Minangkabau (Brothers from Minang) berani menjawab tantangan yang diberikan oleh Parlindungan. Buku "Sejarah Minangkabau" yang pertama diluncurkan tahun 1970, yang juga berisi ucapan selamat dari Parlindungan sendiri sebagai kata pengantarnya. "Sejarah Minangkabau" tersebut berisi tanggal-tanggal yang akurat dan data-data referensi yang otentik, pengarangnya juga menjelaskan mitos-entik dari sejarah Minangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat.
Hamka, seorang intelektual Islam yang populer, secara langsung menantang Parlindungan tahun 1974, dalam bukunya, "Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta". Tetapi usaha yang paling nyata atas penulisan sejarah Minangkabau dilaksanakan oleh Rusli Amran, seorang pensiunan Departemen Luar Negeri Indonesia.
Rusli Amran lahir di Padang tahun 1922 dan sempat mengenyam sistem pendidikan Belanda, Jepang dan Indonesia. Selama masa revolusi Rusli Amran membantu penerbitan surat kabar Berita Indonesia dan pada awal tahun 1950 bergabung dalam birokrasi pemerintah, pertama pada Departemen Pertahanan dan kemudian Departemen Keuangan hingga akhirnya pada Departemen Luar Negeri. Selama puluhan tahun Rusli Amran mewakili Republik Indonesia di Moskow dan Paris ketika orang-orang Minangkabau disingkirkan dari program kebangsaan. Ketika Rusli Amran pensiun ditahun 1972, Ia mendedikasikan dirinya pada proyek sejarah berskala besar yaitu menulis sejarah Sumatera Barat dalam bentuk yang bisa dimengerti dan dijangkau oleh para pelajar Indonesia.
Rusli Amran menyenangi arsip. Dia menghabiskan banyak waktu antara tahun 1970-1980 untuk menggali data dan nara sumber di Belanda dan Indonesia, dengan memfokuskan perhatian pada laporan dan penelitian yang tersedia pada Jurnal Kolonial Belanda pada abad ke 19. Buku pertama Rusli Amran adalah "Sumatera Barat hingga Plakat Panjang" yang merupakan sejarah lengkap termasuk juga laporan arkeologis pada abad ke 13. Dalam buku itu, Rusli Amran menitikberatkan pada interaksi Minangkabau dengan Inggris dan Belanda, sampai pada perang Padri dan Plakat Panjang yang merupakan awal dari pendudukan Belanda di Sumatera Barat.
Rusli Amran sangat cermat dalam melakukan penelitian akan tetapi gaya penulisannya dalam bukunya tidak formal. Dia berhati-hati sekali dalam menterjemahkan semua sumbernya kedalam bahasa Indonesia dan bab tentang masuknya bangsa Eropa diberi judul " Masuknya si Bule".
Buku pertamanya ini adalah proyeknya yang paling ambisius dengan hampir 700 halaman lengkap dengan referensi sumber, reproduksi dari arsip dan dokumen yang terkait beserta sumber asli. Buku keduanya adalah "Sumatera Barat Plakat Panjang" adalah buku lanjutan dari buku yang pertama yang disertai juga dengan terjemahan dari sumber-sumber Belanda yang diambil dari jurnal Belanda dan muncul dalam apendik. Kedua buku ini membuat sumber-sumber dalam bahasa Belanda yang secara bahasa dan tempat sulit terjangkau menjadi mudah terjangkau bagi para pelajar Indonesia yang berminat mempelajari Sejarah Sumatera Barat.
Buku ketiga dari Rusli Amran adalah "Sumatera Barat: Pemberontakan Anti Pajak tahun 1908" yang menjelaskan mengenai sistem tanam paksa kopi, eksploitasi kolonial pada abad ke 19 dengan penelaahan mengenai reaksi atas pajak. Buku ke empat didedikasikan pada kota kelahirannya Padang yang ditulis masih dengan gaya informal dan berisi campuran antara arsip-arsip dan kejadian-kejadian yang bersifat pribadi pada komunitas Eropa dan Jawa. Rusli Amran juga memasukan koleksi-koleksi foto reproduksi yang mengesankan .
Kegigihan Rusli Amran memakai nama Sumatera Barat daripada Minangkabau dalam setiap tulisannya menunjukan penafsirannya terhadap Sumatera Barat sebagai komunitas yang multi etnis dan sejarah interaksi terhadap bangsa Eropa, Cina, Jawa Batak dan Minangkabau. Buku terakhir dari Rusli Amran diterbitkan setelah beliau wafat pada tahun 1996 dalam bentuk kumpulan esai yang berjudul "Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah". Kumpulan esai ini merupakan penemuan yang menakjubkan pada tokoh-tokoh dan momen yang tidak biasa di Sumatera Barat yang menyenangkan untuk dibaca santai.
Terlebih penting dari tulisan Rusli Amran adalah kebaikan hati beliau selama melakukan penelitian terhadap arsip-arsip tersebut dimana beliau menggandakan setiap artikel dan manuskrip yang ada mengenai Sumatera Barat yang sangat banyak jumlahnya. Rusli Amran kemudian menggandakan dokumen-dokumen tersebut dan menyimpannya dalam tiga lokasi yang berbeda di Sumatera Barat yaitu: Perpustakaan Bagian Literatur dan Kemanusiaan Universitas Andalas di Limau Manis, Ruang Baca Konsul Kesenian Sumatera Barat di Gedung Abdullah Kamil di Padang dan Pusat Dokumentasi dan Inventori Budaya Minangkabau di Padang Panjang. Melalui usaha Rusli Amran ini pelajar yang berminat pada sejarah Sumatera Barat dapat menjangkau buku yang menyediakan gambaran yang jelasi dan tanpa pretensi mengenai masa kolonial. Terlebih lagi mereka dapat menjangkau sumber yang asli tanpa harus pergi ke Belanda maupun Jakarta.
Pada akhirnya Istri dari Rusli Amran mendirikan Yayasan Rusli Amran di Jakarta sebagai tempat untuk belajar dan pusat dokumentasi dan tempat untuk mendukung penelitian mengenai sejarah Sumatera Barat. Walaupun secara internasional Rusli Amran tidak cukup terkenal, Rusli Amran telah banyak membantu dalam penelitian terhadap sejarah Minangkabau di Indonesia dan bukunya memang wajib untuk dibaca.
Pada pertengahan tahun 1961, semangat kebangsaan dan kepahlawanan orang-orang Minangkabau telah hancur. Pemberontakan yang dilancarkan oleh pendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan telah tiga tahun berjuang menentang pemerintahan pusat yang makin lama makin condong dan menunjukan keberpihakan pada budaya Jawa yang otoriter dan komunis, akhirnya dapat dikalahkan.
Banyak orang-orang Minangkabau pergi meninggalkan Sumatera Barat dan tidak pernah kembali lagi. Saat ini mulai dikenal dengan istilah rantau cino, migrasi permanen orang Cina, ketika orang-orang Minangkabau mulai memberikan nama Jawa pada keturunan mereka. Orang-orang Minangkabau mulai mengeluh bahwa di tanah kelahiran mereka di Sumatera Barat, "Para Pemenang" semuanya telah pergi dan yang tertinggal hanya kerbau. Restauran padang dan para imigran dari Sumatera Barat mendadak membludak. Mereka pada umumnya berusaha menekan identitas etnik mereka dan menyesuaikan diri mereka agar terbiasa hidup jauh dari tempat asal mereka di Minangkabau dan hidup dengan kenangan buruk.
Pada tahun 1963, datang lagi sebuah pukulan terhadap orang-orang Minangkabau yang telah kehabisan nafas. Dalam sebuah buku yang ajaib dan sangat aneh yaitu “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Hambali di Tanah Batak (1816-1833)”. Seorang penulis Mandailing bernama Mangaradja Onggang Parlindungan mentertawakan dan mengejek:
“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679)."
Setelah menunggu kejatuhan Soekarno dan kehancuran Partai Komunis Indonesia maka saudara-saudara dari Minangkabau (Brothers from Minang) berani menjawab tantangan yang diberikan oleh Parlindungan. Buku "Sejarah Minangkabau" yang pertama diluncurkan tahun 1970, yang juga berisi ucapan selamat dari Parlindungan sendiri sebagai kata pengantarnya. "Sejarah Minangkabau" tersebut berisi tanggal-tanggal yang akurat dan data-data referensi yang otentik, pengarangnya juga menjelaskan mitos-entik dari sejarah Minangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat.
Hamka, seorang intelektual Islam yang populer, secara langsung menantang Parlindungan tahun 1974, dalam bukunya, "Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta". Tetapi usaha yang paling nyata atas penulisan sejarah Minangkabau dilaksanakan oleh Rusli Amran, seorang pensiunan Departemen Luar Negeri Indonesia.
Rusli Amran lahir di Padang tahun 1922 dan sempat mengenyam sistem pendidikan Belanda, Jepang dan Indonesia. Selama masa revolusi Rusli Amran membantu penerbitan surat kabar Berita Indonesia dan pada awal tahun 1950 bergabung dalam birokrasi pemerintah, pertama pada Departemen Pertahanan dan kemudian Departemen Keuangan hingga akhirnya pada Departemen Luar Negeri. Selama puluhan tahun Rusli Amran mewakili Republik Indonesia di Moskow dan Paris ketika orang-orang Minangkabau disingkirkan dari program kebangsaan. Ketika Rusli Amran pensiun ditahun 1972, Ia mendedikasikan dirinya pada proyek sejarah berskala besar yaitu menulis sejarah Sumatera Barat dalam bentuk yang bisa dimengerti dan dijangkau oleh para pelajar Indonesia.
Rusli Amran menyenangi arsip. Dia menghabiskan banyak waktu antara tahun 1970-1980 untuk menggali data dan nara sumber di Belanda dan Indonesia, dengan memfokuskan perhatian pada laporan dan penelitian yang tersedia pada Jurnal Kolonial Belanda pada abad ke 19. Buku pertama Rusli Amran adalah "Sumatera Barat hingga Plakat Panjang" yang merupakan sejarah lengkap termasuk juga laporan arkeologis pada abad ke 13. Dalam buku itu, Rusli Amran menitikberatkan pada interaksi Minangkabau dengan Inggris dan Belanda, sampai pada perang Padri dan Plakat Panjang yang merupakan awal dari pendudukan Belanda di Sumatera Barat.
Rusli Amran sangat cermat dalam melakukan penelitian akan tetapi gaya penulisannya dalam bukunya tidak formal. Dia berhati-hati sekali dalam menterjemahkan semua sumbernya kedalam bahasa Indonesia dan bab tentang masuknya bangsa Eropa diberi judul " Masuknya si Bule".
Buku pertamanya ini adalah proyeknya yang paling ambisius dengan hampir 700 halaman lengkap dengan referensi sumber, reproduksi dari arsip dan dokumen yang terkait beserta sumber asli. Buku keduanya adalah "Sumatera Barat Plakat Panjang" adalah buku lanjutan dari buku yang pertama yang disertai juga dengan terjemahan dari sumber-sumber Belanda yang diambil dari jurnal Belanda dan muncul dalam apendik. Kedua buku ini membuat sumber-sumber dalam bahasa Belanda yang secara bahasa dan tempat sulit terjangkau menjadi mudah terjangkau bagi para pelajar Indonesia yang berminat mempelajari Sejarah Sumatera Barat.
Buku ketiga dari Rusli Amran adalah "Sumatera Barat: Pemberontakan Anti Pajak tahun 1908" yang menjelaskan mengenai sistem tanam paksa kopi, eksploitasi kolonial pada abad ke 19 dengan penelaahan mengenai reaksi atas pajak. Buku ke empat didedikasikan pada kota kelahirannya Padang yang ditulis masih dengan gaya informal dan berisi campuran antara arsip-arsip dan kejadian-kejadian yang bersifat pribadi pada komunitas Eropa dan Jawa. Rusli Amran juga memasukan koleksi-koleksi foto reproduksi yang mengesankan .
Kegigihan Rusli Amran memakai nama Sumatera Barat daripada Minangkabau dalam setiap tulisannya menunjukan penafsirannya terhadap Sumatera Barat sebagai komunitas yang multi etnis dan sejarah interaksi terhadap bangsa Eropa, Cina, Jawa Batak dan Minangkabau. Buku terakhir dari Rusli Amran diterbitkan setelah beliau wafat pada tahun 1996 dalam bentuk kumpulan esai yang berjudul "Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah". Kumpulan esai ini merupakan penemuan yang menakjubkan pada tokoh-tokoh dan momen yang tidak biasa di Sumatera Barat yang menyenangkan untuk dibaca santai.
Terlebih penting dari tulisan Rusli Amran adalah kebaikan hati beliau selama melakukan penelitian terhadap arsip-arsip tersebut dimana beliau menggandakan setiap artikel dan manuskrip yang ada mengenai Sumatera Barat yang sangat banyak jumlahnya. Rusli Amran kemudian menggandakan dokumen-dokumen tersebut dan menyimpannya dalam tiga lokasi yang berbeda di Sumatera Barat yaitu: Perpustakaan Bagian Literatur dan Kemanusiaan Universitas Andalas di Limau Manis, Ruang Baca Konsul Kesenian Sumatera Barat di Gedung Abdullah Kamil di Padang dan Pusat Dokumentasi dan Inventori Budaya Minangkabau di Padang Panjang. Melalui usaha Rusli Amran ini pelajar yang berminat pada sejarah Sumatera Barat dapat menjangkau buku yang menyediakan gambaran yang jelasi dan tanpa pretensi mengenai masa kolonial. Terlebih lagi mereka dapat menjangkau sumber yang asli tanpa harus pergi ke Belanda maupun Jakarta.
Pada akhirnya Istri dari Rusli Amran mendirikan Yayasan Rusli Amran di Jakarta sebagai tempat untuk belajar dan pusat dokumentasi dan tempat untuk mendukung penelitian mengenai sejarah Sumatera Barat. Walaupun secara internasional Rusli Amran tidak cukup terkenal, Rusli Amran telah banyak membantu dalam penelitian terhadap sejarah Minangkabau di Indonesia dan bukunya memang wajib untuk dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar