Apa yang kamu ketahui tentang Gunung Merapi?
Sebagian besar orang yang saya tanyakan menjawab bahwa Gunung Merapi
merupakan salah satu gunung berapi aktif yang sering menjadi lokasi
wisata di Jawa Tengah. Jawaban lain yang saya dapatkan bahwa Gunung
Merapi sangat terkenal dengan ikonnya, Mbah Marijan. Bahkan jawaban
ekstrim seperti Gunung Merapi adalah gunung angker yang penuh dengan
dunia mistis yang berlokasi di Jawa Tengah.
Sekarang saya akan ganti sedikit pertanyaannya, kenalkah kamu dengan Gunung Merapi di Sumatera Barat?
Beberapa jawaban dan komentar yang saya dapatkan seperti, “Benarkah
Sumatera Barat memiliki Gunung Merapi?”, atau “Saya tidak tahu bahwa di
Sumatera Barat terdapat Gunung Merapi”. Meskipun dari beberapa jawaban
saya juga menemukan orang yang mengetahui keberadaan Gunung Merapi di
Sumatera Barat, namun sebagian besar penjawab yang benar adalah orang
yang berasal dari Sumatera Barat.
Setahun yang lalu (2009) saya mendapat kesempatan baik untuk melakukan
sebuah penelitian disebuah kawasan konservasi di Sumatera Barat, Suaka
Alam Merapi. Suaka Alam Merapi memiliki Gunung Merapi, salah satu gunung
berapi aktif di Sumatera Barat dengan ketinggian 2891,3 meter dari
permukaan laut (m dpl). Terhitung sejak akhir abad 18 hingga tahun 2008
tercatat kira-kira sudah 454 kali meletus, 50 diantaranya dalam skala
besar, sedangkan sisanya dalam skala kecil.
Gunung Merapi terletak didua kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Datar dan
Kabupaten Agam. Keberadaan Gunung Merapi sangat kental karena mempunyai
nilai historis bagi masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Menurut
sejarahnya, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari lereng Gunung
Merapi, hal ini ditandai dengan terdapatnya Nagari Pariangan di
Kabupaten Tanah Datar. Nagari Pariangan merupakan cikal bakal dari
lahirnya sistem pemerintahan masyarakat berbasis nagari di Sumatera
Barat. Sebuah animo unik yang berkembang dimasyarakat, bahwa jika
seseorang belum pernah mendaki Gunung Merapi maka orang tersebut belum
‘lengkap’ disebut sebagai orang Minangkabau.
Nah, karena saya berasal dari ranah Minangkabau, maka saya pun
memutuskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Merapi. Saya melakukan
start pendakian disebuah nagari (wilayah) yang bernama Kotobaru, sebuah
kecamatan di Kabupaten Tanah Datar. Daerah ini merupakan sentra
perkebunan sayur terutama jenis wortel, yang merupakan produk unggulan
di Sumatera Barat. Saya tidak melakukan pendakian sendiri, bersama 3
orang rekan lainnya, Pak Cahyo (seorang wisatawan dari Medan), Bang
Erwin (anggota Merapi Adventure Camp, badan usaha nagari yang melakukan
pemantauan aktivitas wisata di Merapi), dan Bang Tito (penduduk lokal).
Akses jalan yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :
Pengunjung naik angkutan umum dari Koto Baru menuju persimpangan Nagari
Pandai Sikek. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojek (15 menit)
menuju tower (pintu masuk kawasan). Jalan menuju tower adalah jalan
aspal yang sebagiannya sudah rusak, sepanjang perjalanan pengunjung
dapat melihat pemandangan lahan perkebunan penduduk yang asri. Dari
tower, pengunjung menuju Pesangrahan Bung Hatta, berupa areal datar
bekas bangunan bersejarah “Bung Hatta”. Pengunjung selanjutnya akan
menemukan Parak Batuang (Hutan Bambu), jalur dari Parak Batuang berupa
tanjakan dari undakan akar kayu. Pada ketinggian 1.750 m dpl, pengunjung
akan menemukan Shelter Paninjauan. Pengunjung dapat melihat pemandangan
kota Bukit Tinggi dan sekitarnya, tempat ini menjadi lokasi favorit
pemberhentian sementara pengunjung. Obyek berikutnya yang ditemui adalah
Terowongan Pakis, berupa goa sempit yang dipayungi oleh jalinan daun
paku/pakis. Pada salah satu titik di hutan pakis, terdapat sumber mata
air yang bernama mata air Pintu Angin (2.277 m dpl).
Akses jalur menuju kawasan puncak akan terus berupa alur naik, akar
pohon, bebatuan gamping dan jalan yang licin serta berbatu. Pada
beberapa titik, jalur akan terpecah menjadi dua, akan tetapi di jalur
berikutnya akan menjadi satu lagi. Dari Cadas, pengunjung dapat
menikmati indahnya pemandangan alam khas pegunungan dengan deretan
kawasan pegunungan Bukit Barisan. Sekitar 2,5 km (2 jam perjalanan) dari
Cadas, pengunjung sampai di kawasan puncak, disana ada obyek berupa
Tugu Abel Tasman, Kawah Merapi, Puncak Merpati, Puncak Garuda, dan Taman
Edelweis.
Banyak falsafah adat masyarakat setempat yang berhubungan erat dengan
alam Suaka Alam Merapi, seperti ungkapan “Bumi sanang, padi manjadi”.
Padi hanya bisa hidup dan berbuah dengan baik apabila kelestarian alam
disekitarnya dijaga dengan baik.
Logika ilmu pengetahuan alam ini disadari masyarakat yang tinggal di
sekitar Suaka Alam Merapi yang sebagian besar hidupnya tergantung pada
sawah dan kebun. Masyarakat bertani di area sekitar Gunung Merapi yang
menyuplai air untuk kebutuhan hidup, pengairan sawah dan kebun mereka.
Air tersebut mengalir dari lembah-lembah di Suaka Alam Merapi.
Masyarakat tidak perlu membeli air untuk kebutuhan hidup mereka karena
hutan telah menyediakannya secara gratis. Air gunung mengalir sampai ke
rumah penduduk, bahkan sebagian dimanfaatkan untuk kolam alami.
Lahar-lahar bekas muntahan dan letusan Gunung Merapi menyuburkan tanah
pertanian mereka. Oleh sebab itu, masyarakat mengharapkan agar
pengunjung yang datang ke Suaka Alam Merapi hendaknya memperhatikan
aspek kebersihan lingkungan Merapi.
Kerusakan hutan di sekitar Gunung Merapi dapat mendatangkan bencana bagi
masyarakat sekitar, seperti banjir, tanah longsor dan bencana kemarau
yang panjang. Hal ini telah dipahami masyarakat sehingga tingkat
gangguan terhadap kawasan hutan di Suaka Alam Merapi oleh masyarakat
sangat rendah. Di Kabupaten Tanah Datar khususnya, tidak pernah ada
pembalakan hutan (illegal logging), kebakaran hutan dan perladangan liar
di dalam kawasan Suaka Alam Merapi.
Ancaman sesungguhnya datang dari pengunjung yang melakukan pendakian.
Layaknya lokasi tujuan wisata lainnya, mutu lingkungan Gunung Merapi
semakin menurun karena terdapatnya banyak sampah dan coretan
(vandalisme) pada obyek. Masalah lainnya terkait keamanan kawasan adalah
kegiatan pengambilan dan pencurian Bunga Edelweis di Taman Edelweis
yang dilakukan oleh pengunjung. Saya teringat dengan ungkapan klasik
“mencintai tidak berarti memiliki”. Seyogyanya ungkapan ini dapat
diterapkan oleh para pengunjung terutama yang berkedok “pecinta alam”
untuk lebih menjaga keutuhan alam dan segala isinya. Jika menyukai
keindahan alam, maka tidak perlu dengan cara mengeksploitasi isinya
hanya untuk kepentingan pribadi. Cintailah alam dengan membiarkannya
tetap lestari dan utuh, maka imbas baliknya adalah alam akan setia
memberikan keindahannya untuk terus dinikmati oleh kita dan anak cucu
kita.